Langit sore ini tampak cerah. Mega-mega menyelip diantara dedaunan bambu. Dipucuk yang melambai-lambai diterpa angin semilir. Disisi lain, jemuran berduyun-duyun dihela sang bayu pertanda telah kering. Memang benar, hari ini kota ini panas sekali. Awan gelap tak muncul seharian. Lewat pun tidak. Pertanda bulan Juni akan panas dan melelahkan.
Sore menganggur itu kuhabiskan untuk menulis didepan rumah kecil Keputih 3A No 1. Ku duduk disofa rusak di beranda rumah bercat hijau yang sejak dua tahun lalu ku tinggali. Suasana sedikit lenggang. Hanya lalat yang dari tadi berputar entah apa yang ia kerumuni. Tak henti ku usik lalat nakal yang menempel dikaki dan kepalaku itu. Ia terbang kesana kemari menempel dilantai, lalu kembali mendarat padaku, kemudian terbang berputar karena ku hela. Tapi tak menyurutkan pena merah itu mengukir kalimat. Menulis.
Tak banyak yang ingin kutulis, tak ada yang ingin kubuat. Tetapi entah kenapa senja itu begitu mesra dan menggoda untuk berkarya. Ataukah ini efek dari membaca Rebecca of Sunnybrook Farm? Yah, kisah gadis kecil dari keluarga Randall bernama Rebecca Rowena Randall. Sama sekali tidak bisa diandalkan. Tetapi memiliki bakat seniman dan selalu ceria. Begitu polos dan jujur. Tentu saja, bakat seni itu dari ayahnya Lorenzo de Medici Randall dan kegemarannya membaca buku itu seperti Aurelia Sawyer, ibunya.
Mentari mulai membungkuk sedikit ke ufuk barat. Mega-mega lenyap dari dedaunan. Angin dingin malam berisik disela daun pohon kersen. Dan mulailah terdengar qiraah dari masjid tanda akan maghrib. Segera kutulis inti tulisanku ini.
Seperti Rebecca. Aku anak kedua. Aku tak ingat kapan aku pulang ke rumah. Mungkin belum lama ini. Entah kenapa hari ini terasa seabad aku di Surabaya dan belum melihat kampung halamanku. Kerinduan akan desa yang kucintai hanya tersampai pada burung-burung wallet senja itu. Aku sangat ingin bertemu sosok Ibu dan Bapaku. Juga kedua adik kesayanganku Ahmad Jazilul In’am dan Shofiyah Wardatul Jannah. Dan kakakku satu-satunya Miftakhul Khoir yang sekarang sedang di luar pulau Jawa ini.
Kala matahari tenggelam dalam dunia, ku sempatkan untuk menelpon Ibu dan memastikan bahwa rumah dalam keadaan baik. Ku kirim salam kangen dalam gelombang elektronik ponsel itu. Salam hangat untuk semua yang tersayang di Randuboto.
Sebagai seorang kakak, aku turut merasakan perjuangan para adikku yang sedang ujian. Dan petang ini aku berdoa untuk kesuksesan mereka. Dan aku yakin selalu ada energi positif dari setiap nafas abangku Khoir. Begitu pagi nanti akan ku lihat foto kedua malaikat hatiku, dan berdoa semoga Alloh selalu merahmati kedua orang tuaku. Amin.